SAAT SUARA AZAN MEMANGGIL

Oleh : Dwiyanto

Saat suara azan memanggil, menggoyangkan daun daun pohon jambu, merayap pelan di relung hatinya, ,menggesekkan rintihan rintihan yang mengiris. Sudah hampir setahun ini Tikno merasakan ada siksaan semacam meremas remas jiwanya, mengirim rasa sesak di dada. Sudah ditutup rapat rapt kebusukan hatinya, namun suara azan yang membisik dan mengalun itu telah membuka dan meruapkan kegelisahan.

Padahal, suara azan senantiasa datang, menyembul dari masjid kecil yang jaraknya hanya sekitar 50 meter dari rumahnya. Lengkingan suara Bang Somad yang bening, menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya.

Mestinya ada kesejukan yang tergelar, hati yang terbasuh dalam semai damai mendengar suara azan Bang Somad yang dahulu pernah juara pertama mengumandangkan azan tingkat Kabupaten. Namun selalu datang ketakutan setiap kali azan berkumandang.

Apalagi mendengar suara azan sambil berdiam di rumah ini. Rasa sesak di dada semakin menghentak. Perasaan pedih, perih dan sedih terasa kian mencekiknya.

”Aku telah menyalahgunakan kepercayaan” bisik hatinya pada dirinya sendiri.

Andai dirinya tidak rakus, barangkali dia masih bisa menikmati ketenangan hidup. Tidak diburu buru ketakutan setiap kali suara azan menggelinding di telinganya. Sampai tubuhnya bergetaran, sampai keringat dingin bercucuran.

Sungguh siksa di batinnya terasa berat disangganya. Namun, dia tak memiliki keberanian untuk mengungkapkan penderitaannnya pada orang lain. Disimpannya, ditutupnya sekian lama, dalm waktu yang panjang terantang. Akan tetapi, semakin ditekan nuraninya, malah melahirkan kekalutan demi kekalutan.

Tubuh Tikno masih menggigil meski suara azan baru saja usai. Namun, suara Bang Somad masih saj berdengung dengung di telinganya. Seolah bang Somad masuk ke dalamnya.

Beberapa tetangganya tergesa gesa melangkah, melewati pintu rumahnya untuk melewati sholat Isya berjamaah. Hanya Tikno yang masih juga terpaku tidak bergeming dari tempatnya.

”sekali engkau membuat pengakuan, namamu akan tercemar selamanya. Tikno yang alim, yang kalau salat selalu berada pada barisan paling depan, ternyata tak lebih dari seorang maling. Ingat Tik, jaga namamu”. Suara yang lain datang. Suara azan di telinganya belum juga menghilang dari gendang telinganya, selalu berulang dan berulang.

”tanpa pengakuan dan bertobat, kau akan selalu diterkam kegelisahan. Hatimu akan digerogoti ketidaktenangan. Sudahlah tak perlu kau turuti kehidupan palsumu”.

Suara Azan masih mengalir. Tikno berusaha mendekap telinganya. Sebenranya ada sebersit tekad untuk membuat pengakuan agar hatinya tenang. Bahwa sebagai panitia pembangunan masjid, telah ada kecurangan yang dilakukannnya. Empat gelondong kayu jati, ditilepnya satu. Pak Komar, pimpinan perhutani itu begitu percaya kepadan dia.

”Ini sumbangan dari perhutani untuk dukuh Sukorame. Semoga masjid itu segera terbangun”. Pak Komar menyalaminya sembari tangan kanan itu menepuk pundaknya. Senyum lelaki tua yang hampir mendekati masa pensiun itu begitu ikhlas.

Angin pedukuhan menyebarkan hawa dingin. Kemarau yang panjang telah mematikan jagung jagung baru yang selesai ditanam. Harapan harapan yang tumbuh bersemi pun ikut layu.

”satu gelondong kayu jati itu ....Tikno menatap rumah dari papan. Ada rasa malu mengeram di dalam dirinya.

”Tikn,... tikno ternyata engkau musang berbulu domba. Engkau pura pura alim, padahal hatimu sungguh berbau busuk ” suara dalam sanubari yang menusuk.

Siksa itu datang kembali mendera. Dia teramat menyesal kalau mengingat kejadian setahun lalu. Mengapa hatinya begitu mudah tergelincir. Satu gelondong kayu jati itu telah menindih hatinya selama setahun dan dirasakan tindihan itu kian bertambah berat bebannya. Tikno seakan tidak kuat lagi menyangga sendirian. ”Hmm, kepada siapakah aku berkeluh?” rintihnya.

Sebenarnya hati Tikno semakin terbanting manakala dia harus bertemu dan berkumpul dengan orang orang pedukuihan. Batapa mereka memujinya setinggi langit sebagai orang yang pintar mendekati orang penting. Banyak .donatur mengalir sehingga masjid kecil itu bisa selesai tepat pada waktunya.

Keberhasilan itulah yang membuat dirinya ditunjuk lagi oleh pak Lurah sebagai ketua dalam pembuatan madrasah di lingkungan pedukuhan. Berkali kali Tikno menolaknya dengan halus.

”masih banyak orang orang yang lebih mampu dan berpendidikan sarjana di bandingkan saya pak Lurah” ungkap Tikno.

”betul kata dik Tikno, namun hanya dik Tikno seorang yang mendapat tempat di hati orang orang sini. Tangan dik Tikno yang dingin selalu menghasilkan sesuatu yang berguna di dukuh ini. Anak anak muda di dukuh ini begitu menurut kalau yang mengajak dik Tikno. Coba bandingkan, saya saja yang jadi lurah kurang begitu diperhatikan. Lihat saja kerja bakti tiapa minggu itu begitu sedikit pesertanya. Namun, begitu dik Tikno datang, berbondong bondonglah mereka” pak Lurah berkata panjang lebar.

Tikno tak bisa menolak. Namun ada rencana mendadak yang menyembul di benaknya. ”Hmm, aku harus menebus kesalahanku” batin Tikno.

”Betul dik?” Pak Lurah mengangkat alis. Tikno mengangguk. ”karena madrasah itu belum memiliki kantor, maka rumah saya yang akan saya sumbangkan sebagai kantor” kata Tikno dengan pasti.

”alangkah mulia hati dik Tikno” pak lurah memuji sekaligus terharu. ”lantas dimana dik Tikno akan tinggal?”

”saya akan mendiami rumah orang tua yang kosong” jawabnya.

Suara Azan maghrib mengalun bening dari mulut Bang Somad. Begitu bening dan Tikno merasakan hatinya yang bergetar bahagia. Ketenangan itu kembali diraihnya.

Dwiyanto

Surakarta, 6 Januari 1969 Jateng

FLP BLORA DIVISI KEPENULISAN KREATIF

Tempat Posting Cepren

blablabla

;;